Kehilangan Sesuatu?

Senin, 24 Juni 2013

TERUNTUK YANG TERCINTA, BUAH HATI MAMA

Salam sayang…

Apa kabarmu nak? Mama dan ayah selalu berdoa semoga semuanya baik-baik saja di sana.
Nak, ketika kamu membaca surat ini, itu artinya kamu sedang nan jauh di sana, di negara orang, sedang berjuang dengan sekuat tenaga untuk merenggut ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya, untuk nanti kau bawa pulang dan kau bagikan dengan adik-adik dan masyarakatmu di sini. Nak, saat kau membaca tulisan ini, itu berarti kau sedang menghadapi rintangan yang membuatmu nyaris tepar, hingga kamu mengadu “ma, kami enggak sanggup lagi.”

Nak, dengarlah. Kenapa mama sengaja mengirimkan surat ini untukmu saat kau sedang dirudung begitu banyak masalah dan kau merasa ingin menyerah? Karena, saat mama menulis tulisan ini, mama persis berada pada posisi yang sama. Mama sedang betul-betul dihimpit persoalan yang bertubi-tubi harus diselesaikan, begitu banyak hal yang harus dipikirkan, dalam waktu yang bersamaan, tapi kesediaan waktu yang ada sungguh terbatas. Dan juga, umur mama persis seperti umurmu sekarang, masih muda dan masih labil-labilnya, masih 21.

Sabtu, 15 Juni 2013

Antara Wanita, Syariat Islam, dan Aceh

Setiap pulang dan berjumpa amak, selalu saja ada hal yang diceritakan, tepatnya dinasehati. serunya, kali ini masalah wanita dalam islam. merujuk pada pengajian beliau tadi sore, amak mulailah mengupas tentang hukum wanita berpergian dan juga dalam berbusana. mulailah kami cek-cok sedikit, beda pendapat, saling menyalahkan, tapi tetap, ujungnya kami menarik kesimpulan; kalau wanita muslim itu harus cantik, cerdas, dan juga islami.

Entah kenapa, pembahasan tadi kembali mengingatkanku akan isu hangat beberapa saat lalu, yang mengatakan kalau syariat Islam di Aceh membelenggu perempuan. Jujur, bagi saya yang notabenenya adalah wanita Aceh entah kenapa statement itu terdengar lucu dan menggelikan. Dan selaku wanita Aceh, saya rasa saya punya hak dan harus berbicara mengenai masalah ini, minimal untuk meyakinkan diri saya, adakah saya merasa demikian?

Begini, sedikit saya jelaskan latarbelakang dan apa yang saya rasakan. jujur, saya terlahir dalam keluarga besar, 9 bersaudara, dan jumlahnya didominasi oleh laki-laki, dimana hanya 3 perempuan dan 6 laki-laki. saya terlahir di Aceh, dari Ayah dan amak yang berdarah Aceh, dan juga dibesarkan di Aceh, dan tentunya dibesarkan dalam nuansa Keislaman yang sangat kental. Namun, selaku perempuan, tak pernah sekalipun saya merasa ada perlakuan berbeda antar wanita dan laki-laki dalam keluarga kami, juga dalam masyarakat dimana saya tinggal. Dalam keluarga kami, jika yang laki-laki mendapatkan pendidikan tinggi, bahkan hingga ke luar negeri, maka yang perempuan, jika ia ingin menggapainya juga berhak mendapatkan hal yang sama, bahkan hingga ke luar Benua. Perlakuan setara itu bukanlah dikarenakan latarbelakang pendidikan Ayah dan Amak saya yang tinggi, ataupun keduanya aktivis gender, bukan juga karena kami berasal dari keluarga bangsawan dan jutawan. Ayah saya hanya tamatan SD era penjajahan jepang dulu (ntah ada tamat pun), dan amak saya hanya lulusan sekolah keguruan. Namun, semua perlakuan itu adalah karena pegangan keduanya yang kuat akan perintah Allah; kalau semua anak-anak harus dididik dengan baik, tanpa perbedaan. Bukankah Nabi sendiri juga memperlakukan anak perempuan dan istrinya secara terhormat begitu juga.

Senin, 20 Mei 2013

Cinta itu Allah, Allah itu Cinta.


Wow.. sudah lama saya tidak berkunjung kemari ya. so sorry T.T

No more chitchat, just to the point. Cerita begini, dua hari yang lalu saya ke rumah cek Lu, penjahit kesayangan, untuk mengambil baju yang kata Anda (kakak) saya sudah selasai "di-edit," alias dipotong dan dikecilkan karena sudah rahasia umum kalau saya itu terlalu imut untuk bau-baju di pasaran, wkwkwk). Awalnya saya tidak ingin kesana, tapi karena sambilan ke luar ke pasar, ya sekalian saja saya mampir. Tada.. begitu saya tiba di sana, azan berkumandang riang di kejauhan. Jadilah saya terbengong sendiri di luar. Karena,  sudah jadi kebiasaan Cek Lu, jika waktu shalat tiba, pintu rumahnya pasti ditutup dan didepannya ditulis "maaf, sedang shalat."

Sambil menunggu di kursi luar, saya terkagum-kagum seorang diri. Ini lah Cek lu, sang idola dan penjahit kesayangan. Beliau adalah sosok wanita shalehah, lembut, sederhana, serta baik dan istiqamah luarbiasa. Beliau begitu keukeuh memegang prinsip "tidak mau menjahit celana, baju ketat, ataupun berlengan pendek." Rugikah beliau dengan prinsip itu? Tidak sama sekali. Karena prinsipnya itu, beliau malah terkenal sebagai "spesialis" gamis dan baju muslimah. Baginya menjahit adalah hobi. Apalagi baju anak-anak, "rasanya seperti refreshing." Begitulah ia mencintai pekerjaannya.

 Ia menjahit untuk menolong. kenapa aku berkata demikian? karena tarifnya itu murah sekali. Baju gamis biasa berkisar 60-70 ribu, kalau sudah berodel-model sedikit, alias sudah susah dijahit, baru harganya jadi 90-100 ribu. Bahkan terkadang harga itu bisa turun lebih jauh lagi jika ia mengetahui kalau yang meminta bantuannya itu adalah orang dari kalangan kurang mampu. Selain murah, hasilnya pun luarbiasa, rapi dan cantik.

Kamis, 14 Juni 2012

Film Ironi di Balik Gaptek Raih Juara Dua Nasional


Oleh: M. Hamzah Hasballah - 13/10/2011 - 13:18 WIB

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Dokumenter edukasi karya sineas Aceh kembali berkibar di tingkat nasional. Film dengan judul Ironi di Balik “Gaptek” memenangkan juara dua dalam Festival Video Edukasi 2011 tingkat nasional yang digelar di Surabaya..

Imah; Kartini dari Lambirah

 by Liza Fathia on 21 April 2012
 
Kalau dilihat dari segi umur, ia masih tergolong belia. Dua puluh tahun lalu ia dilahirkan ke dunia. Tetapi jika ditilik dari apa yang telah diberikan untuk tanah kelahirannya, maka mereka di usia senjapun belum tentu bisa melakukan seperti gadis ini. Dialah Husnul Khatimah, sosok remaja putri nan cerdas dan penuh semangat. Ia ingin mencerdaskan anak-anak di kampungnya dengan membangun Taman Pendidikan Masyarakat (TPM).
Tanyoe, begitu nama TPMnya yang berarti kita. TPM yang dibangun atas dasar kekhawatirannya pada generasi muda yang saban hari hanya menghabiskan waktu luangnya untuk bermain Play Station (PS) di warung-warung. “Bayangkan saja, orang tua mereka adalah petani yang sehari-hari mendapat upah tidak sampai sepuluh ribu. Tapi mereka menghabiskan uang puluhan ribu untuk bermain PS.”

Itulah yang membuat Kak Imah, begitu ia kerap dipanggil oleh bocah-bocah di desanya, bertekad untuk membangun sebuah tempat yang dapat mengalihkan anak-anak tersebut dari permainan PS.

Perempuan Perkasa dari Lambirah


Oleh: Muhammad Hamzah - 31/07/2011 - 15:31 WIB

SEDIKIT GAGAP, Husnul memberi sebuah pengumuman mengejutkan kepada anak-anak Desa Lambirah, Aceh Besar, awal Juli silam. “Dek, niatnya kakak dan kawan-kawan mau membuat pustaka untuk kalian. Nanti di sana kalian bisa membaca buku apa saja, buku cerita juga ada di sana. Terus kalian juga akan diajari, apa saja yang kalian ingin pelajari,” ujar Husnul.
Ternyata, ucapan perempuan 20 tahun itu, begitu menggoda anak-anak yang tinggal di kaki Bukit Barisan tersebut.

Husnul (berbaju orange) di antara anak-anak Lambirah. | Dok Pribadi

Minggu, 10 Juni 2012

Si Kecil Itu Lahir Juga


Sebelumnya kami, selaku pengurus, mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyak nya kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam proses pendirian dan perampungan TPM Tanyoe di Desa Lambirah. Atas kebaikan teman-teman semualah, akhirnya TPM Tanyoe yang hanya bermodalkan mimpi, keperihatinan, serta kenekatan yang tak ketulungan, akhirnya terealisasikan menjadi suatu kenyataan yang luar biasa membahagiakan bagi kami pengurus  dan murid-murid TPM khususnya dan bagi pihak-pihak yang telah ikut membantu pada umumnya. Kami tak tahu  dan juga yakin, kalau kami tak akan mampu mebalas semua kebaikan hati teman-teman. Kami hanya bias berdoa semoga Allah membalas semua kebaikan hati teman-teman.